Dekan FIB Unhas, Prof. Dr. Akin Duli, MA bersama narasumber Kato Kikuko dan Kanjen Jepang, Miyakama Katsutoshi beserta dosen-dosen Sastra Jepang.

ebsfmunhas.com, Makassar– Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Unhas dan Konsulat Jenderal  Jepang di Makassar mengadakan workshop singkat tentang Kimono di ruang Senat gedung Rektorat Unhas, Rabu (29/08/2018).
Kegiatan yang dihadiri puluhan dosen dan mahasiswa ini digelar untuk merayakan pencapaian jurusan Sastra Jepang yang baru saja mendapatkan akreditasi A dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. Akreditasi terbaik tersebut merupakan yang pertama kalinya sejak program studi itu dibuka di Unhas.
Kegiatan yang menjelaskan dan memperagakan langsung cara pemakaian Kimono ini menghadirkan narasumber dari Jepang yang ahli tentang Kimono, Kato Kikuko, untuk memaparkan dan memandu cara pemakaian baju tradisional Jepang tersebut. Hadir pula Konjen Jepang di Makassar Miyakawa Katsutoshi yang didamping sekretaris dan stafnya.
Dekan FIB Unhas Prof. Dr. Akin Duli, MA menyambut baik kegiatan workshop tersebut. Dia mengatakan bahwa workshop Kimono ini adalah bagian dari kegiatan pertukaran budaya antara Jepang dan Indonesia yang dapat mempererat persahabatan dan kerja sama Jepang dan Indonesia, khususnya Unhas dengan kantor konsuler Jepang di Makassar.
“Saya kira ini menjadi kegiatan ilmiah yang membahas sekaligus memperagakan langsung pemakaian Kimono. Sehingga, kita bisa memahami betul Kimono itu seperti apa, dan cara memakainya,“ kata Prof Akin Duli.
Konjen Jepang Miyakawa Katsutoshi mengungkapkan, banyak orang di Makassar yang tertarik dengan pakaian budaya Kimono. Tetapi seminar atau workshop tentang Kimono baru kali ini diadakan di Makassar, tepatnya di Unhas.
“Jadi di seminar ini kita kasih demonstrasi bagaimana menggunakan Kimono dan filosofi Kimono. Biar orang Makassar tahu, terutama dari Unhas, sebagai pengetahuan mereka,“ kata Miyakawa.
Miyakawa mengatakan, istilah Kimono berasal dari kata _kiri_ yang artinya memakai, dan _mono_ adalah benda. Sekarang ini, bagi orang Jepang sendiri, Kimono disebut Wafuku atau baju Jepang. Pemakaian Kimono di Jepang, kata Miyakawa, mengekspresikan juga status sosial. Sehingga, pakaian Kimono yang bangsawan berbeda dengan kalangan masyarakat biasa.
“Sekarang di Jepang orang-orang yang pakai Kimono untuk sehari-hari itu jarang. Karena pakaian Kimono itu mahal dan cara pakainya repot. Tapi kalau upacara khusus, seperti acara tahun baru ada banyak yang pakai Kimono,“ katanya.
Dalam sesi persentasinya, Kato Kikuko memaparkan perlengkapan Kimono yang terdiri dari sabuk (obi), pengganjal sabuk (obiage), tali pengikat obi (obijime), kaos kaki (tabi), lapisan dalam Kimono (nagajuban), lapisan dalam obi (datejime), dan kerah dalam (han eri dan date eri). Pakaian Kimono terbuat dari kain yang disebut Tanmono, yang berukuran lebar 37 cm dan panjang 12 meter.
Pemakaian Kimono beraneka ragam, tergantung tujuan dan tingkat formalitasnya. Jika di acara pernikahan, misalnya, wanita Jepang memakai Kimono Iro Uchikake yang terbuat dari tenunan mewah dan indah. Bagi perempuan Jepang yang telah menikah, Kurotomesode adalah Kimono formal yang tertinggi. Kurotomesode biasanya dikenakan oleh ibu dari kedua mempelai yang menikah. Sementara bagi wanita yang belum menikah, Kimono yang tertinggi Furisode.
Pada kesempatan ini, Kato Kikuko menjelaskan berbagai jenis Kimono, yakni Houmongi (untuk acara pesta), Komon (untuk bepergian sehari-hari), Mofuku (acara kematian), Iromuji (acara seremoni juga kematian), dan Yukata (untuk pakaian di rumah  setelah mandi).
Selain mendapatkan persentasi tentang Kimono, para peserta workhsop juga diajar langsung mengenakan pakaian Kimono yang telah disediakan sebelumnya oleh panitia. Semua peserta yang belajar memakai Kimono tampak antusias dan bahagia. Mereka merasa seperti orang Jepang yang sedang berpakaian Kimono di negeri asalnya. Acara diakhiri dengan sesi foto bersama.(*)
Makassar, 29 Agustus 2018